Sabtu, 11 September 2010

Pilih senang OR Tenang

Setiap kesenangan yang di dapat belum tentu bisa tenang, BUT setiap Ketenangan yang di dapat sudah pasti senang.

Senang ataukah tenang yang diinginkan seseorang? Menurut Abu Hamid Al-Ghazali, orang yang senang (al-Sa'id) itu belum tentu tenang (al-Nafs al-Mutmainnah). Misalnya, orang yang melakukan korupsi, tentu merasa senang karena mendapatkan harta dengan segera tanpa susah payah, dan dia tinggal menikmatinya saja. Tapi, apakah hati menjadi tenang dengan perolehan harta terlarang yang bukan haknya itu?

Demikian pula, orang yang melakukan perselingkuhan, boleh jadi ia dapat mengenyam kenikmatan sesaat, tetapi apakah hatinya jadi tenang dan tenteram? Atau, seseorang yang mengonsumsi narkoba, mungkin dia bisa merasa senang dan bahagia untuk sementara. Akan tetapi, apa benar dia tidak dihantui perasaan takut?

Jika sudah menyadari hal seperti ini, mengapa manusia itu berlaku zalim terhadap dirinya sendiri dan hanya mementingkan kenikmatan sesaat. Padahal, mereka berani menanggung risiko ketidaktenangan dan ketidaktenteraman dalam hidupnya.

Kebahagiaan itu kenyataannya tidak bermula pada kesenangan, melainkan berangkat dari ketenangan. Orang yang memiliki banyak uang pasti senang karena segala kebutuhannya tercukupi, tetapi uang tidak menjamin seseorang mendapatkan ketenangan hidup.

Seringkali kita temukan, orang kaya malah jadi bertambah cemas karena takut dan khawatir hartanya berkurang atau habis. Siapa pun jika mendapatkan jabatan dan kedudukan prestisius menjadi senang, tapi adakah jabatan itu bisa membuat dia tenang dalam hidupnya? Jawabnya pasti belum tentu! Jika begitu, mengapa kita tidak mementingkan ketenangan hidup ketimbang memulai kesenangan hidup? Karena ketenangan jiwa, insya Allah akan menghasilkan kesenangan dan kebahagiaan yang hakiki.

Ada adagium dalam dunia tasawuf  yang patut untuk direnungkan. "Lastu Aras Sa'adata Jam'a Malin, Walakin at_Taqiya Lahaiya as-Sa'idu" (Saya tiada merasa bahagia jika berada dalam kekayaan harta, tapi takwa ini bahagia yang hakiki).

Dalam Alquran, banyak sekali ayat yang menerangkan tentang tenang dan manfaatnya. "Orang tenang (mengikuti petunjuk Alquran) itu mendapat rahmat atau kasih-sayang Allah." (QS 7:204). "Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan orang-orang beriman." (QS 9:26). "Allah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang Mukmin supaya keimanan bertambah di samping keimanan mereka yang telah ada." (QS 48: 4 dan 18).

Ketenangan jiwa niscaya akan menghilangkan rasa cemas hingga hidup menjadi ringan tanpa beban. Segala penyakit fisik pun akan hilang atau berkurang dengan sendirinya jika jiwa kita menjadi tenang. Orang yang tenang akan dengan mudah mendapat kesenangan dan kebahagiaan. Sebagai orang yang beriman, sudahlah tentu kita akan memilih hidup tenang dahulu sebelum mendapatkan yang senang. (vivanews, M Baharun)

Tips Hati Menjadi Tenang

Secara etimologi zikir berasal dari bahasa Arab yang berarti 'menyebut' atau 'mengingat'. Dalam bahasa agama (Islam) zikir acap kali didefinisikan dengan menyebut atau mengingat Allah dengan lisan melalui kalimat-kalimat thayyibah.

Kendatipun zikir sering disebut-sebut sebagai upaya mengingat Allah melalui lisan, namun sesungguhnya esensi zikir ada pada kesadaran penuh akan pengawasan Allah dalam segala aspek kehidupan manusia. Kesadaran akan kehadiran dan pengawasan Allah inilah yang akan membuat hidup menjadi tenang dan tenteram. Sebab, hidup dalam pengawasan Allah pasti mengarahkan seseorang untuk tampil humanis, amanah, disiplin, dan taat hukum.

Allah berfirman: “(yaitu) orang-orang yang beriman lagi hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra'du : 28). Maka, zikir seharusnya tidak hanya di forum-forum tertentu, seperti masjid atau mushala, tetapi juga harus melekat saat berbisnis, bekerja, mengajar, rapat tertutup maupun terbuka, dan dalam semua kesempatan.

Seringkali kita menemukan dan bahkan dirasakan sebagian orang, masih ada orang yang gelisah dan gamang dalam hidupnya, kendati sudah berzikir. Imam al-Ghjazali dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin menjelaskan tentang keajaiban hati (aja'ib al-qalb).

Ia mengilustrasikan, jika seseorang sedang berjalan, lalu ada anjing yang hendak mengganggu dan ia menghardiknya, maka anjing itu akan segera pergi. Namun, bila di sekitarnya banyak tulang dan daging yang menjadi makanannya, maka anjing tersebut tidak akan pergi meskipun dihardik dengan keras. Kalaupun dia pergi, paling hanya sebentar untuk kemudian mengintai lagi, menunggu kita lengah lalu segera kembali.

Melalui ilustrasi tersebut, al-Ghazali ingin menjelaskan bahwa zikir itu ibarat sebuah hardikan terhadap setan. Zikir baru akan efektif, kalau hati kita bersih dari makanan setan. Kalau hati sudah bersih, maka zikir akan mampu menghardik setan. Sebaliknya, bila hati dipenuhi dengan makanan setan, maka zikir sebanyak apa pun tidak akan sanggup mengusir setan. Bahkan, setan akan ikut berzikir pula dalam hati kita. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain, bila ingin zikir efektif dan mempunyai kekuatan, maka kita harus membersihkan hati dari segala macam makanan setan.

Al-Ghazali menambahkan, makanan setan menjadi peluang dan pintu masuk (madkhal) setan. Pintu masuknya adalah segala bentuk penyakit hati. Dan di antara akses masuknya setan yang merupakan penyakit hati yang kerap menyerang manusia adalah al-hirts. Al-hirts adalah ambisi atau keinginan yang sangat rakus, dan selalu ingin lebih. Akibatnya, ia menjadi tuli dan buta mata hatinya. Dan ia pun rela melakukan apa saja. (Vivanews, ahmad yani)